
Oleh : Manjilala, S.Gz, M.Gizi
Luka bakar adalah salah satu jenis trauma yang sering kali berdampak serius, baik secara fisik maupun emosional. Kondisi ini dapat terjadi akibat kontak dengan sumber panas seperti api, bahan kimia, listrik, air panas, hingga radiasi. Luka bakar bukan sekadar masalah kulit; dampaknya jauh lebih kompleks, melibatkan gangguan metabolisme, fungsi organ, dan bahkan sistem psikologis seseorang. Dalam artikel ini, kami akan membahas secara mendalam bagaimana penanganan luka bakar yang tepat dapat dilakukan, khususnya dari aspek Gizi dan perawatan klinis.
Apa itu Luka Bakar dan Bagaimana Derajatnya Ditentukan?
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan Luas Permukaan Tubuh Terbakar (LPT), lokasi luka, dan kedalaman jaringan yang terdampak. Penentuan ini sangat penting untuk menentukan keparahan luka dan langkah perawatan yang tepat. Beberapa metode seperti “Rules of Nine” dan “Lund-Browder Burns Chart” sering digunakan untuk menghitung persentase area tubuh yang terbakar.
Luka bakar dapat dibagi menjadi beberapa derajat:
- Superfisial (Grade I): Hanya melibatkan lapisan kulit terluar.
- Parsial Superfisial dan Parsial Dalam (Grade IIa dan IIb): Melibatkan jaringan di bawah permukaan kulit.
- Full Thickness (Grade III): Luka bakar yang merusak semua lapisan kulit hingga jaringan terdalam.
Pentingnya Gizi dalam Penyembuhan Luka Bakar
Gizi memainkan peran vital dalam proses pemulihan luka bakar. Setelah trauma, tubuh mengalami respons metabolik yang terdiri dari dua fase utama: Fase Ebb dan Fase Flow. Pada Fase Ebb, tubuh berada dalam kondisi hipovolemik, sementara Fase Flow melibatkan peningkatan metabolisme, yang sering kali menyebabkan kehilangan massa otot dan nitrogen balans negatif.
Pengkajian Gizi pada Luka Bakar
Pengkajian gizi merupakan langkah awal yang sangat penting untuk memahami kondisi pasien dan menentukan strategi perawatan. Dalam kasus luka bakar mayor (≥20% LPT atau melibatkan wajah, tangan, atau saluran pernapasan), pengkajian meliputi beberapa komponen utama:
- Status Gizi Sebelum Trauma
Penilaian berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan Indeks Massa Tubuh (IMT) dilakukan untuk mengetahui status gizi awal. Namun, pada pasien yang bedrest atau mengalami edema, penilaian ini mungkin tidak akurat. Dalam kasus tersebut, pendekatan klinis lebih diutamakan. - Persentase dan Lokasi Luka Bakar
Luas luka dan lokasi trauma memengaruhi kebutuhan energi dan strategi perawatan. Luka di area pernapasan, misalnya, membutuhkan perhatian khusus karena risiko komplikasi yang tinggi. - Kondisi Saluran Pencernaan
Fungsi gastrointestinal dinilai untuk memastikan pasien dapat menerima dan mencerna gizi dengan baik. Masalah seperti ileus atau risiko aspirasi akan memengaruhi keputusan penggunaan diet enteral atau parenteral. - Tingkat Nyeri dan Kondisi Premorbid
Nyeri yang berat dapat memengaruhi asupan makanan pasien, sehingga pengendalian nyeri menjadi bagian integral dari perawatan. - Riwayat Diet dan Pola Makan
Informasi tentang kebiasaan makan, alergi makanan, dan pola makan sebelum trauma dikumpulkan melalui anamnesis, sering kali dengan bantuan keluarga pasien.
Dalam 24-48 jam pertama pasca-trauma, kebutuhan cairan pasien menjadi prioritas utama. Terapi cairan dilakukan menggunakan metode seperti Parkland Formula, di mana 50% kebutuhan cairan diberikan dalam 8 jam pertama, dan sisanya dalam 16 jam berikutnya.
Diagnosis Gizi pada Luka Bakar
Berdasarkan hasil pengkajian, diagnosis gizi dapat dirumuskan untuk mengidentifikasi masalah utama yang perlu diatasi. Beberapa kemungkinan diagnosis gizi pada pasien luka bakar meliputi:
- Prediksi Asupan Energi dan Zat Gizi yang Suboptimal
Luka bakar meningkatkan kebutuhan energi dan gizi, sementara pasien sering kali mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan ini. - Asupan Makanan dan Minuman Oral Tidak Adekuat
Nyeri, mual, atau masalah saluran pencernaan sering menyebabkan pasien tidak mampu makan secara optimal. - Asupan Enteral atau Parenteral yang Tidak Adekuat atau Berlebih
Ketidakseimbangan asupan gizi ini dapat menghambat proses penyembuhan. - Asupan Cairan Tidak Adekuat atau Berlebih
Ketidakseimbangan cairan dapat memengaruhi stabilitas hemodinamik dan fungsi organ. - Peningkatan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi
Luka bakar menyebabkan tubuh berada dalam kondisi katabolisme yang tinggi, meningkatkan kebutuhan energi, protein, dan mikronutrien. - Gangguan Fungsi Saluran Gastrointestinal
Masalah seperti ileus atau intoleransi terhadap makanan dapat menghambat asupan gizi. - Perubahan Nilai Laboratorium Terkait Gizi
Penanda seperti albumin, prealbumin, dan kadar elektrolit sering menunjukkan ketidakseimbangan akibat luka bakar.
Strategi Diet untuk Mendukung Penyembuhan
Pemenuhan kebutuhan energi, protein, cairan, dan mikronutrien sangat penting bagi pasien dengan luka bakar mayor. Berikut adalah panduan praktis berdasarkan tingkat keparahan luka:
- Energi: Kebutuhan energi dihitung menggunakan formula seperti Ireton-Jones atau ASPEN. Pada pasien kritis, asupan energi yang dianjurkan berkisar antara 25-35 kkal/kg berat badan per hari.
- Protein: Protein adalah komponen utama yang membantu proses penyembuhan luka. Pada luka bakar dengan luas lebih dari 10% LPT, kebutuhan protein meningkat hingga 1,5-3 g/kg berat badan per hari.
- Cairan: Formula Parkland sering digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan. Sebanyak 50% cairan diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya dalam 16 jam berikutnya.
- Vitamin dan Mineral: Vitamin A, C, dan E sangat penting dalam mempercepat regenerasi jaringan, sedangkan zink membantu meningkatkan metabolisme energi.
Terapi Diet yang Efektif
Diet enteral (melalui saluran pencernaan) lebih disarankan dibandingkan dengan diet parenteral (melalui intravena). Pemberian diet enteral harus dimulai dalam waktu 24-48 jam setelah luka bakar terjadi, dengan volume pemberian yang meningkat secara bertahap. Jika pasien tidak dapat menerima diet enteral, diet parenteral dapat menjadi alternatif, terutama pada kondisi seperti ileus atau risiko aspirasi tinggi.
Monitoring dan Evaluasi: Kunci Keberhasilan Perawatan
Monitoring harian sangat penting untuk memastikan kebutuhan energi dan cairan terpenuhi. Berikut adalah parameter yang perlu diawasi:
- Kondisi fisik: Berat badan, tekanan darah, suhu tubuh, dan penyembuhan luka.
- Data biokimia: Kadar gula darah, elektrolit, dan protein serum.
- Toleransi diet: Gejala mual, muntah, atau masalah gastrointestinal lainnya.
Peran Kolaborasi Tim Medis
Penanganan luka bakar tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi antara dokter, dietisien, perawat, farmasis, hingga pekerja sosial untuk memastikan pemulihan berjalan optimal. Setiap profesional memiliki peran spesifik, mulai dari meresepkan diet, mengaplikasikan perawatan fisik, hingga memberikan dukungan emosional kepada pasien.
Kesimpulan
Penanganan luka bakar adalah proses yang kompleks dan membutuhkan pendekatan holistik. Gizi yang tepat, terapi cairan yang efisien, dan monitoring yang ketat adalah kunci keberhasilan dalam pemulihan. Dengan memahami kebutuhan spesifik pasien, tim medis dapat memberikan perawatan yang lebih efektif, meningkatkan kualitas hidup pasien, dan meminimalkan risiko komplikasi jangka panjang.
Referensi :
Suharyati, dkk. 2019. Penuntun Diet dan Terapi Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Hamdana, S. K., Amin, A. N., Alfira, N., & Amirullah, S. K. (2023). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan Sistem Integumen Luka Bakar. Google Books. Retrieved from https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=jS_TEAAAQBAJ
Almira, Vania, Purnamasari, Reeny, Setiawati, Solecha, Yuniati, Lisa, & Achmad, Andi Irwansyah (2024). Karakteristik Pasien Luka Bakar Rawat Inap. Fakumi Medical Journal: Jurnal Mahasiswa Kedokteran, 4(6), 422-428, ISSN 2808-9146, Universitas Muslim Indonesia, https://doi.org/10.33096/fmj.v4i6.318
Suzan, R., & Andayani, D. E. (2017). TATA LAKSANA NUTRISI PADA PASIEN LUKA BAKAR LISTRIK. Jambi Medical Journal : Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, 5(1), 1-13. https://doi.org/10.22437/jmj.v5i1.3598